FILSFAT ILMU
(MAKALAH
HIPOTETYCAL ANALYSIS)
“PEMAHAMAN
AWAL TENTANG FILSAFAT”
Oleh :
IMALUDIN AGUS
NIM.15709251038
Tugas
ini ditulis untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk tugas akhir mata kuliah Filsafat
Ilmu dengan dosen pengampu Bapak. Prof. Dr. Marsigit, MA.
PENDIDIKAN MATEMATIKA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2016
PENGETAHUAN AWAL TENTANG FILSAFAT
PENDAHULUAN
Filsafat
merupakan olah pikir. Filsafat mendorong setiap individu yang ingin mengenalnya
untuk mengetahui apa yang diketahui dan apa yang belum diketahui. Setiap yang
mempelajari filsafat diharapkan untuk mampu berendah hati sebab semakin kita
mempelajari filsafat semakin kita menyadari bahwa kita semakin tidak mengetahui
apa-apa, dan apa yang telah kita ketahui tidak lebih dari setitik tinta yang
dicelupkan dalam lautan luas. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Sokrates bahwa “satu hal yang saya tahu yaitu saya tidak mengetahui apa-apa”.
Kerendahan
hati sokrates menunjukan bahwa betapa menyadarkan kita berfilsafat bagaikan
memasuki rongga kecil yang memiliki ruangan yang luas dan tak terhingga luasnya
yang meliputi seluruh jagad raya dan isinya. Dengan ruang yang cukup luas ini
mengantarkan pemiliki kemampuan menalaran dan komunikasi yakni manusia untuk
mencoba mengenal semua gejala yang terjadi sedetail mungkin walaupun dengan
keterbatasan daya dan kemampuan yang dimiliki. Hal ini disebabkan manusia
adalah ciptaan Allah SWT yang paling sempurna didalam ketidak sempurnaan, sebab
jika manusia sempurna maka artinya tidak hidup.
Pada
dasarnya, filsafat memiliki dua objek yang utama yaitu yang ada dan yang
mungkin ada, baik yang didalam pikiran maupun diluar pikiran. Akan tetapi, yang
menjadi pertanyaan adalah apa yang ada dalam pikiran dan yang mungkin ada dalam
pikiran? Serta apa yang ada dan yang mungkin ada diluar pikiran? Kedua
pertanyaan ini merupakan pertanyaan mendasar bagi setiap orang awam yang baru
mengenal filsafat sebab bagaimana bisa memahami filsafat secara ekstensif dan
intensif jika objek kajiannya saja masih buram.
Selain
objek filsafat, pemahaman terhadap aspek-aspek filsafat juga menjadi hal
penting, dimana filsafat terbagi atas tiga aspek yaitu ontologi, epistomologi
dan aksiologi. Ontology membahas tentang hakikat yang ada, epistomologi lebih
diidentikkan dengan pengetahuan serta aksiologi terbagi atas dua bagian utama
yakni etika (baik dan buruk) serta estetika (indah dan jelek). Akan tetapi, setiap objek serta aspek dalam filsafat
harus selalu ada dalam koridor atau kriteria kebenaran menurut filsafat, yang
mengharuskan setiap yang mencoba mengenalnya untuk patuh dan taat pada ruang
dan waktu, sebab kebenaran menurut filsafat jika sesuai dengan ruang dan waktu
serta kesalahan itu karena tidak sesuai dengan ruang dan waktu. Oleh karena
itu, untuk pemahaman lebih jauh mengenai dasar-dasar filsafat maka dipandang
perlu adanya penjelasan mengenai apa itu filsafat? Bagaimana objek filsafat?
Apa saja aspek-aspek dari filsafat? Serta bagaimana pandangan filsafat mengenai
yang benar dan yang salah?
PEMBAHASAN
Filsafat
adalah olah pikir. Olah pikir diartikan sebagai kemampuan menggunakan pikiran
dan penalaran untuk mempertanyakan dan meragukan setiap apa yang ada dan yang
mungkin di alam semesta serta berusaha untuk menjawab setiap perntanyaan dan
membuktikan setiap yang diragukan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh
Rene Deskrates bahwa “Saya ada karena saya berpikir”. Oleh
karena itu, esensi utama dari filsafat adalah berpikir dan bagaimana
menggunakan pikiran untuk mengungkap semua objek dari filsafat.
Secara
subtansial, yang dipikirkan dalam filsafat yaitu tentang yang ada dan yang
mungkin ada. Menurut Aristotels
dikatakan ada dalam pikirian jika objek yang dimaksud dapat dilihat, diraba,
dirasakan atau secara umum dapat terdeteksi oleh pancaindra manusia. Paham
seperti ini disebut paham Realisme.
Sedangkan pandangan lain tentang yang ada yaitu menurut Plato, sesuatu
dikatakan ada jika ada dalam pikiran yang berupa logika, sebagai salah satu
contoh real mengenai hal ini adalah matematika murni, yang kebenarannya
tergantung pada koherentismenya. Paham yang seperti diungkapkan oleh plato
disebut platonisme atau biasa disebut
idealisme.
Selanjutnya,
filsafat dianalogikan sebagai penguasa utama dari segala lini dalam alam
kesemestaan, yang membuka ruang untuk lini-lini lain berada didalamnya serta
menjadi bagian dari kajiannya. Setiap yang mempelajari filsafat mengharuskan
dirinya mampu membuka pikiran dan memperlebar pandanganya, bahwa dunia memiliki
dimensi serta struktur yang luas atau menurut bahasa awamnya yakni “ada langit diatas langit”.
Selain
itu, setiap manusia memiliki dimensi berpikir yang berbeda antara individu yang
satu dengan individu yang lain tergantung bagaimana usaha manusia tersebut
mengesplor dan meningkatkan dimensi berpikirnya. Salah satu contoh untuk
meningkatkan dimensi berpikir manusia adalah melalui proses belajar secara
kontinu baik disekolah formal maupun informal.
Filsafat
menggunakan bahasa analog serta metode hidup sebagai alat untuk memahami dan
mengungkapkan semua yang ada dan yang mungkin ada. Bahasa analog merupakan
bahasa yang lebih halus dari bahasa kiasan, dimana setiap subtansi pikiran yang
ingin diungkapkan tidak langsung dipahami secara gamblang oleh para pembacanya,
akan tetapi harus memerlukan proses analisis yang logis serta melalui sintesis
yang koheren. Sedangkan metode hidup diartikan sebagai metode
yang digunakan dalam mempelajari filsafat, dengan individu sebagai objek utama
dan proses belajarnya disesuaikan dengan pengalaman dan kemampuan individu
tersebut. Jika dikaitkan dalam proses pembelajaran matematika, maka metode
hidup merupakan proses pemberian jalan kepada peserta didik untuk belajar
sesuai dengan taraf berpikirnya serta guru harus memandang peserta didik bukan
sebagai empty vessel, yang bisa diisi
dengan apapun oleh gurunya. Akan tetapi, paradigma ini harus berubah menjadi
peserta didik sebagai pribadi yang memiliki kemampuan berpikir, menalaran,
mensintesis dan lain sebagainya yang dapat tereksplor dengan baik.
Secara
fundamental, Filsafat merupakan induk dari segala pengetahuan yang memiliki
batasan dan objek kajian masing-masing. Satu hal terpenting dalam belajar
filsafat adalah mengetahui sampai mana batasan-batasannya, sehingga dalam
proses memahaminya tidak menyimpang dari nilai-nilai ideal yang diharapkan
serta tidak terjerumus dalam paradigma yang salah mengenai filsafat dan proses
pemahaman jagad raya. Oleh karena itu, diperlukan fondasi agama yang kokoh sebagai
tembok pembatas, sebab tujuan hidup bukan hanya dunia tetapi yang tak kalah
lebih penting adalah akhirat. Seperti salah Ungkapan berikut “Berusahalah seakan-akan engkau hidup seribu
tahun lagi dan beribadahlah seakan-akan engkau akan mati esok”.
Kaitannya
dengan objek filsafat, maka pada dasarnya filsafat memiliki dua objek utama
yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada diartikan sebagai sesatu yang
dapat dilihat, dirasakan oleh pancaindra manusia. Selain itu, dikatakan ada
ketika ada dalam pikiran. Sedangkan yang mungkin ada diartikan sebagai sesuatu
yang belum bisa dijangkau oleh pikiran manusia baik itu kejadian dimasa lampau
maupun kejadian dimasa mendatang atau dalam bahasa filsafatnya disebut
trasendental. Dari dua objek filsafat ini maka muncul dua pertanyaan mendasar
mengenai esensi yang ada dan yang mungkin ada. Dua pertayaan tersebut yaitu
jika ada diluar pikiran, bagaimana mengetahuinya? Serta jika ada dalam pikiran
bagaimana mengungkapkannya?
Ketika
berbicara ada dan yang mungkin ada, maka setiap individu memiliki perspektif
yang berbeda, sebab bisa jadi ada bagi saya belum tentu ada bagi yang lain
serta ada bagi yang lain belum tentu ada bagi saya. Sebagai ilustrasi sederhana
yaitu ketika saya menyebutkan tanggal lahir adik saya maka tentu ada bagi saya
tetapi mungkin ada bagi yang lain yang belum pernah mengetahui kapan adik saya
lahir, begitupula sebaliknya.
Selain
itu, setiap manusia hanya mampu berusaha menggapai setiap yang ada dan mungkin
ada serta tidak mampu menyebutkan semua yang ada dan mungkin ada tersebut, baik
yang ada dalam pikir maupun yang diluar pikiran, sebab manusia merupakan
makhluk sempurna dalam ketidak sempurnaan. Oleh karena itu, dalam memahami
setiap yang ada dan mungkin ada tergantung pada sejauh mana individu memiliki
pengalaman dan intuisi yang diperolehnya dalam proses berkehidupan.
Selanjutnya,
filsafat terbagi atas tiga aspek yaitu pertama,
ontologi. Ontologi merupakan hakekat yang ada. Ada menurut filsafat jika
terdapat didalam pikiran atau diluar pikiran. Ada diluar pikiran ketika tidak
bisa dikenali dengan panca indra, akan tetapi dapat dianalisis oleh pikiran. Kedua aspek epistomologi. Epistomologi diartikan dengan
pengetahuan, maka filsafat ilmu merupakan bagian dari aspek epistomologi.
Ketika berbicara pengetahuan, maka ada sebuah pertanyaan besar dari mana
sesungguhnya pengetahuan itu berasal? Menurut Immanuel kant pengetahuan merupakan hasil dari pengalaman manusia
yang terus-menerus dan kebenarannya dibenarkan oleh logika atau dalam istilah
filsafat disebut Intuisi. Selain itu,
menurut Aristoteles pengetahuan hanya berdasarkan pengalaman manusia atau biasa
disebu emperik. Oleh karena itu, pengetahuan
berawal dari rasa ingin tahu dan meragukan setiap yang ada dan yang mungkin
ada, sehingga dengan pengalaman, logika dan analisis yang dimiliki manusia,
berusaha untuk mendukung atau membantah setiap apa yang dipertanyakan atau yang
diragukan.
Aspek
Ketiga yaitu aksiologi. Pada filsafat
aksiologi diartikan sebagai kaidah, seni atau panduan mengenai baik dan buruk
maupun indah dan jelek. Kedua bagian ini terkalasifikasi menjadi dua
bagian yang holistic yaitu etika dan estetika. Ketika berbicara etika maka kajian
utamanya adalah mengatur bagaimana seharusnya tindakan yang harus dimiliki oleh
setiap orang yang hendak mempelajarinya. Didalam etika menekankan pada apakah sesuatu
itu baik atau buruk. Akan tetapi, untuk membuktikan mana yang baik dan mana
yang buruk dalam filsafat merupakan hal yang relative, sebab filsafat sangat
menghargai perbedaan ruang dan waktu serta meyakini bahwa setiap ruang dan
waktu memiliki aturan dan tatacara yang berbeda, sehingga penentuan kriterian
penilian benar atau salahnya pun akan berbeda. Sebagai contoh sederhana yaitu
ketika mengatakan yang tidak sebenarnya kepada para penjahat mengenai sesuatu
yang menjadi incarannya maka ini bernilai baik untuk ruang dan waktu tersebut,
tetapi akan bernilai buruk ketika perkataan dan perlakukam tidak jujur
dipergunakan dalam pemerintahan, maka tentu imbasnya adalah penyalahgunaan
wewenang serta perampasan terhadap hak-hak orang dibawahnya, Seperti bawahan maupu
masyarakatnya.
Sejalan
dengan pernyataan diatas maka estetika yang merupakan bagian dari aksiologi dan
memiliki peranan dalam hal penentuan keindahan atau tidak indah, maka tentu
tidak akan terlepas pula pada keterkaitanya dengan ruang dan waktu. Ruang dan
waktu merupakan patokan utama dalam penentuan suatu kriteria dan bagimana tolak
ukur yang dapat dipergunakan sebagai alat validasi. Seperti halnya pada etika,
maka estitika antara tempat yang satu dengan tempat yang lain akan berbeda.
Perbedaan ini terletak pada budaya serta aturan yang diterapkan didaerah atau
wilayah tersebut. Sebagai ilustrasi sederhana, budaya barat yang sangat
bertentang dengan budaya timur, dimana menurut budaya barat fashion, gaya
bergaul, serta gaya hidup yang hedonis dan bebas merupakan hal yang indah,
tetapi menurut budaya timur memiliki nilai yang negative dan bahkan merupakan
aib besar yang harus dihilangkan.
Oleh
karena itu, dengan berfilsafat mengajarkan kepada setiap individu menyadari
sejauh mana batasan yang dimilikinya serta tidak menjadikan dirinya sebagai
pribadi yang sombong, sebab manusia adalah makhluk yang penuh salah dan dosa
serta keterbatasan. Selain itu, kesadaran terhadap ruang dan waktu merupakan
hal penting untuk selalu peka terhadap kedua aspek ini, agar dalam segala
tindakan yang hendak dilakukan sesuai dengan kriterian kebenaran yang tepat berdasarkan
ruang dan waktu yang tepat pula. Selanjutnya, saya mengutip apa yang
diungkapkan oleh Albert Enstein bahwa
“agama tanpa ilmu adalah sesat dan ilmu
tanpa agama adalah buta”. Ungkapan ini merupakan penanda bagimana
pentingnya agama dalam proses memahami setiap yang ada dan yang mungkin ada,
agar setiap diri selalu berada pada right trace (Jalan yang benar) yang telah
Allah berikan dan diamanahkan kepada semua umat manusia.
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan
pendahuluan dan pembahasan diatas, maka yang dapat disimpulkan dalam makalah
hipotetycal analysis yang berjudul pemahaman awal tentang filsafat yaitu
sebagai berikut:
a. Filsafat
ilmu merupakan oleh pikir, dengan bahasa analog sebagai alat bantu
komunikasinya serta metode hidup sebagai metodologis yang tepat untuk
mempelajarinya. Bahasa analog adalah bahasa yang lebih halus dari bahasa kiasan
yang mengharuskan adanya proses berpikir dalam memahami setia yang ada dan
mungkin ada. Sedangkan metode hidup yaitu metode yang memandang individu
sebagai pribadi yang memiliki karakteristik yang berbeda dan unik, sehingga
dalam proses belajarnya pun harus berdasarkan pada kemampuan dan pemahaman
mereka, sebab filsafat adalah diri kita sendiri.
b. Filsafat
memiliki dua objek utama yaitu yang ada dan yang mungkin ada. Yang ada
diartikan sesuatu yang dapat dijangkau oleh panca indra dan pikiran serta yang
mungkin ada diartikan sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh panca indra dan
pikiran, baik kejadian dimasa lalu maupun kejadian dimasa mendatang. Satu hal
yang harus diperhatikan adalah yang ada dan yang mungkin ada antara individu
yang satu dengan individu yang lain akan berbeda, sebab ada untuk saya belum
tentu ada untuk yang lain dan begitu pula sebaliknya.
c. Filsafat
memiliki 3 aspek yaitu ontologi, epistomologi, dan aksiologi. Ontology
diartikan sebagai hakikat yang ada, epistomologi diartikan sebagai pengetahuan
dan filsafat ilmu merupakan bagian dari aspek ini. Sedangkan aksiologi
berkaitan erat dengan etika dan estetika. Etika memiliki kajian dalam hal
penentuan tindakan baik atau buruk sedangkan estetikan memiliki fungsi sebagai
penentu kriteria indah atau jelek.
d. Filsafat
memandang setiap yang salah dan yang benar sebagai sesuatu hal yang relatif,
sebab filsafat sangat patuh pada ruang dan waktu. Ruang dan waktu merupakan
tolak ukur yang menjadi dasar penyusunan kriteria kebenaran, agar alat ukur
yang digunakan untuk mengungkapkan kebenaran maupun kesalahan memang
benar-benar valid.